Dewa Matahari di Perayaan Tahun Baru & Pandangan Islam
Setiap akhir tahun biasanya semua manusia di
dunia ini tidak terkecuali kaum Muslim mengalami wabah penyakit yang luar biasa, pengidap penyakit
ini biasanya menjadi suka menghamburkan harta untuk berhura-hura, euforia yang berlebihan,
pesta pora dengan makanan yang mewah, minum-minum semalam penuh, lalu mendadak
ngitung (3.., 2.., 1.. Dar Der Dor!).
Wabah itu bukan flu burung, bukan juga kelaparan, tapi wabah penyakit
akhir tahun yang kita biasa sebut dengan tradisi perayaan tahun baruan. Kaum
muda pun tak ketinggalan merayakan tradisi ini. Kalo yang udah punya gandengan
merayakan dengan jalan-jalan konvoi keliling kota, pesta di restoran, kafe,
warung (emang ada ya?)
Kalo yang jomblo yaa.. tiup terompet, baik
terompet milik sendiri ataupun minjem (bagi yang nggak punya duit). Kalo yang
kismin, ya minimal jalan-jalan naik truk bak sapi lah, sambil
teriak-teriak nggak jelas.
Dan bagi kaum adam yang normal menurut pandangan
jaman ini, kesemua perayaan itu tidaklah lengkap tanpa kehadiran kaum hawa.
Karena seperti kata iklan “nggak ada cewe, nggak rame”
Bahkan di kota-kota besar, tak jarang setelah
menunggu semalaman pergantian tahun itu mereka mengakhirinya dengan
perbuatan-perbuatan terlarang di hotel atau motel terdekat.
Yah itulah sedikit cuplikan fakta yang sering
kita lihat, dengar, dan rasakan menjelang malam-malam pergantian tahun. Ini
dialami oleh kaum muslimin, khususnya para anak muda yang memang banyak sekali
warna dan gejolaknya. Nah, sebagai pemuda-pemudi muslim yang cerdas, agar kita nggak salah langkah di
tahun baruan ini, maka kita harus menyimak gimana seharusnya kita menyikapi
momen yang satu ini.
Asal muasal tahun baruan
Awal muasal tahun baru 1 Januari jelas dari
praktik penyembahan kepada dewa matahari kaum Romawi. Kita ketahui semua
perayaan Romawi pada dasarnya adalah penyembahan kepada dewa matahari yang
disesuaikan dengan gerakan matahari.
Sebagaimana yang kita ketahui, Romawi yang
terletak di bagian bumi sebelah utara mengalami 4 musim dikarenakan pergerakan
matahari. Dalam perhitungan sains masa kini yang juga dipahami Romawi kuno,
musim dingin adalah pertanda ’mati’ nya matahari karena saat itu matahari
bersembunyi di wilayah bagian selatan khatulistiwa.
Sepanjang bulan Desember, matahari terus turun ke
wilayah bahagian selatan khatulistiwa sehingga memberikan musim dingin pada
wilayah Romawi, dan titik tterjauh matahari adalah pada tanggal 21-22 Desember
setiap tahunnya. Lalu mulai naik kembali ketika tanggal 25 Desember. Matahari
terus naik sampai benar-benar terasa sekitar 6 hari kemudian.
Karena itulah Romawi merayakan rangkaian acara
’Kembalinya Matahari’ menyinari bumi sebagai perayaan terbesar. Dimulai dari
perayaan Saturnalia (menyambut kembali dewa panen) pada tanggal
23 Desember. Lalu perayaan kembalinya Dewa Matahari (Sol Invictus) pada
tanggal 25 Desember sampai tanggal 1-5 Januari yaitu Perayaan Tahun Baru
(Matahari Baru)
Orang-orang Romawi merayakan Tahun Baru ini biasa
dengan berjudi, mabuk-mabukan, bermain perempuan dan segala tindakan keji penuh
nafsu kebinatangan diumbar disana. Persis seperti yang terjadi pada saat
ini.
Ketika Romawi menggunakan Kristen sebagai agama
negara, maka terjadi akulturasi agama Kristen dengan agama pagan Romawi. Maka
diadopsilah tanggal 25 Desember sebagai hari Natal, 1 Januari sebagai Tahun Baru
dan Bahkan perayaan Paskah (Easter Day), dan banyak perayaan dan simbol
serta ritual lain yang diadopsi.
Bahkan untuk membenarkan 1 Januari sebagai
perayaan besar, Romawi menyatakan bahwa Yesus yang lahir pada tanggal 25
Desember menurut mereka disunat 6 hari setelahnya yaitu pada tanggal 1 Januari,
maka perayaannya dikenal dengan nama ’Hari Raya Penyunatan Yesus’ (The
Circumcision Feast of Jesus)
Pandangan Islam terhadap Perayaan Tahun
Baru
’Ala kulli hal, yang ingin kita
sampaikan disini adalah bahwa ’Perayaan Tahun Baru’ dan derivatnya bukanlah
berasal dari Islam. Bahkan berasal dari praktek pagan Romawi yang dilanjutkan
menjadi perayaan dalam Kristen. Dan mengikuti serta merayakan Tahun baru adalah
suatu keharaman di dalam Islam.
Dari segi budaya dan gaya hidup, perayaan tahun
baruan pada hakikatnya adalah senjata kaum kafir imperialis dalam menyerang kaum
muslim untuk menyebarkan ideologi setan yang senantiasa mereka emban yaitu
sekularisme dan pemikiran-pemikiran turunannya seperti pluralisme,
hedonisme-permisivisme dan konsumerisme untuk merusak kaum muslim, sekaligus
menjadi alat untuk mengeruk keuntungan besar bagi kaum kapitalis.
Serangan-serangan pemikiran yang dilakukan barat
ini dimaksudkan sedikitnya pada 3 hal yaitu (1) menjauhkan kaum muslim dari
pemikiran, perasaan dan budaya serta gaya hidup yang Islami, (2) mengalihkan
perhatian kaum muslim atas penderitaan dan kedzaliman yang terjadi pada diri
mereka, dan (3) menjadikan barat sebagai kiblat budaya kaum muslimin khususnya
para pemuda.
Ketiga hal tersebut jelas terlihat pada perayaan
tahun baru yang dirayakan dan dibuat lebih megah dan lebih besar daripada hari
raya kaum muslimin sendiri. Tradisi barat merayakan tahun baru dengan berpesta
pora, berhura-hura diimpor dan diikuti oleh restoran, kafe, stasiun televisi dan
pemerintah untuk mangajarkan kaum muslimin perilaku hedonisme-permisivisme dan
konsumerisme.
Kaum muslim dibuat bersenang-senang agar mereka lupa terhadap
penderitaan dan penyiksaan yang terjadi atas saudara-saudara mereka sesama
muslim. Dan lewat tahun baruan ini pula disiarkan dan dipropagandakan secara
intensif budaya barat yang harus diikuti seperti pesta kembang api, pesta minum
minuman keras serta film-film barat bernuansa persuasif di televisi.
Semua hal tersebut dilakukan dengan bungkus yang
cantik sehingga kaum muslimin kebanyakan pun tertipu dan tanpa sadar mengikuti
budaya barat yang jauh dari ajaran Islam. Anggapan bahwa tahun baru adalah “hari
raya baru” milik kaum muslim pun telah wajar dan membebek budaya barat pun
dianggap lumrah.
”Sungguh kamu akan mengikuti (dan meniru)
tradisi umat-umat sebelum kamu bagaikan bulu anak panah yang serupa dengan bulu
anak panah lainnya, sampai kalaupun mereka masuk liang biawak niscaya kamu akan
masuk ke dalamnya pula”. Sebagian sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, orang-orang
Yahudi dan Nasrani-kah?” Beliau menjawab: ”Siapa lagi (kalau bukan
mereka)?” (HR Bukhari dan Muslim)
Walhasil, kaum secara i’tiqadi dan
secara logika seorang muslim tidak layak larut dan sibuk dalam perayaan haram
tahun baruan yang menjadi sarana mengarahkan budaya kaum muslim untuk mengekor
kepada barat dan juga membuat kaum muslimin melupakan masalah-masalah yang
terjadi pada mereka.
Dan hal ini juga termasuk mengucapkan
selamat Tahun Baru, menyibukkan diri dalam perayaan tahun baru, meniup terompet,
dan hal-hal yang berhubungan dengan kebiasaan orang-orang kafir.
Wallahua’lam
akhukum, Felix Siauw
follow me on twitter @felixsiauw
follow me on twitter @felixsiauw
0 comments:
Post a Comment